Download Alquran 30 Juz Kaidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah: Aturan Shalat Di Belakang Hebat Bid'ah
Kaidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah: Hukum Shalat Di Belakang Ahli Bid'ah
Oleh : Syakhul Islam Ibnu Taimiyah
Di antara prinsip ahlus sunnah wal jama'ah ialah mereka mengerjakan shalat jum'at, shalat 'ied, dan shalat jama'ah. Mereka tidak meninggalkan shalat jum'at atau pun shalat jama'ah sebagaimana yang dilakukan oleh hebat bid'ah di kalangan rafidhah dan yang lain. Apabila imam tidak menampakkan perbuatan bid'ah atau pun fajir, maka ahlus sunnah shalat di belakang mereka, baik shalat jum'at atau pun shalat jama'ah, ini ialah janji imam madzhab yang empat dan juga imam kaum muslimin yang lain. Dan tak seorang pun di antara imam ulama' yang beropini bahwa dihentikan shalat jama'ah melainkan di belakang imam yang telah diketahui seluk beluk perihal dirinya. Bahkan kaum muslimin sesudah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa shalat (jama'ah) di belakang seorang muslim yang tidak terlihat kebid'ahannya atau kefajirannya..
Akan tetapi, bila diketahui bahwa imam ialah pelaku bid'ah dan fajir sedangkan memungkinkan baginya untuk shalat di belakangnya dan memungkinkan pula baginya shalat di belakang selainnya, maka kebanyakan hebat ilmu beropini bahwa shalat makmum tetap sah. Inilah pendapat madzhab Syafi'iyah dan Hanafiyah, dan juga satu di antara dua pendapat dalam madzhab Maliki dan Ahmad (Hambali)..
Adapun bila tidak memungkinkan bagi seseorang untuk shalat melainkan di belakang imam hebat bid'ah atau pun fajir menyerupai dikala shalat Jum'at, sedangkan tidak ada kawasan lain yang menegakkan shalat Jum'at, maka dia harus shalat (sekali pun) di belakang hebat bid'ah dan fajir menurut pendapat seluruh ulama' ahlus sunnah wal jama'ah. Inilah pendapat madzhab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan yang lain dari imam-imam ahlus sunnah tanpa ada ikhtilaf di kalangan mereka..
Manakala telah bertebaran pengikut hawa nafsu maka sebagian insan tidak mau shalat melainkan di belakang orang yang telah dia kenal dan dia sukai. Sebagaimana hal itu telah dinukil dari Imam Ahmad yang mana dia menyebut-nyebut hal itu dikala seseorang bertanya kepada beliau. Tidak seorang ulama' pun yang beropini bahwa shalat tidak sah melainkan di belakang imam yang telah diketahui keadaannya..
Tatkala Abu Amru dan Utsman bin Marzuq berkunjung ke negeri Mesir, pemerintah di pegang oleh raja yang menampakkan kesyi'ahannya, mereka juga penganut ajaran kebatinan yang sanggup menjerumuskan kepada kekafiran. Oleh lantaran itu banyak bid'ah-bid'ah yang bermunculan di negeri Mesir, sehingga dia memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya biar tidak shalat melainkan di belakang orang yang telah diketahui keadaannya. Kemudian sesudah maut beliau, kekuasaan dipegang oleh raja yang berhaluan ahlus sunnah yang berjulukan Shalahuddin, maka berkibarlah syi'ar-syi'ar sunnah yang bertentangan dengan rafidhah sehingga ilmu-ilmu dan sunnah semakin banyak dan dominan..
Maka shalat di belakang imam yang belum/tidak diketahui keadaannya ialah boleh menurut janji ulama' kaum muslimin. Barang siapa yang menyampaikan bahwa shalat menjadi haram atau batal dikala dilakukan di belakang imam yang tidak diketahui keadaannya (apakah hebat bid'ah atau bukan), maka dia menyelisihi ijma' ahlus sunnah wal jama'ah..
Bahkan para sobat ridhwanullah 'alaihim, mereka shalat di belakang imam yang telah mereka ketahui kefajirannya. Sebagaimana Abdullah bin Mas'ud dan sobat yang lain shalat di belakang Al Walid bin Uqbah bin Abi Mu'ith, padahal dia ialah peminum khamr, dan pernah pula shalat subuh 4 raka'at. Dia pernah dijilid oleh Utsman bin Affan jadinya [1]. Dan Abdullah bin Umar serta sobat yang lain shalat di belakang Al Hajjaj bin Yusuf [2]. Di antara sobat dan tabi'in ada pula yang shalat di belakang Ibnu Abi Ubaid [3] yang dituduh kufur dan penyeru kesesatan..
Baca Juga : Ketentuan Menghajr (Memboikot Ahlul Bid'ah) — Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas
Catatan :
[1] Diriwayatkan oleh Muslim.
[2] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[3] Dia ialah Al-Mukhtar bin Abi Ubaid bin Mas'ud Ats-Tsaqafi. Ibnu Hajar di dalam Al-Ishabah menyebutkan biografinya, "Dikatakan bahwa pada mulanya dia beraliran khawarij lalu (syi'ah) Zaidiyah dan lalu rafidhah. Dia juga pernah mengaku sebagai nabi dan mendustakan sebagian hebat bait. Celaan terhadapnya yang paling besar lengan berkuasa ialah apa yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya, dari Asma' binti Abu Bakar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Akan ada di Tsaqif seorang pendusta dan seorang pembinasa. Dan Asma' menyebutkan bahwa Al-Kadzab (pendusta) dalam hadits tersebut ialah Al-Mukhtar." (Lihat Al-Ishabah 8552 dan Asadul Ghabah 336). Ibnu Abdil Barr berkomentar tentangnya di dalam Al-Isti'ab 2528, "Al-Mukhtar terhitung orang yang utama dan baik agamanya sampai dia menuntut untuk menjadi amir dan dia mengklaim sebagai utusan Muhammad bin Al-Hanafiyyah untuk menuntut darah Husein." Demikian halnya yang dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalam Al-Bidayah (VIII/289), "Dia bukanlah orang yang shadiq (jujur) melainkan seorang kadzib (pendusta), yang mana dia mengaku bahwa Jibril telah tiba kepadanya dengan membawa wahyu. Ketika dikatakan kepada Ibnu Umar, 'Sesungguhnya Al-Mukhtar mengaku mendapat wahyu.' Beliau berkata, 'Memang benar, alasannya ialah Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya syaithan itu mewahyukan kepada kawan-kawannya." (Al-An'am: 122)"
Maksudnya adalah, memang benar Al-Mukhtar mendapat wahyu, tetapi wahyu dari syetan. –pent
***
Ditulis ulang dari Ebook "Kaidah Ahlussunnah Wal Jama'ah" (Qaidatu Ahlussunnah Wal Jama'ah) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ebook sanggup diunduh pada halaman, Download Kumpulan Ebook Terjemah Kitab-Kitab Karya Syaikhul Islam Ibnu Taimyah
——○●※●○——
Esha Ardhie
Rabu, 28 Juni 2017