Download Alquran 30 Juz Penentuan Arah Kiblat, Mengupas Hoax Konspirasi Bumi Datar (Bantahan Teori Flat Earth)
Kupas-Hoax: Bila Bumi Datar, Maka Arah Kiblat di Indonesia (Hampir) ke Utara
Ada sebuah riakan yang sedang mencoba menggeliat pada semesta Indonesia dalam setahun terakhir. Riakan tersebut bertajuk Bumi datar. Ya Bumi datar, gagasan yang sejatinya telah demikian usang ditinggalkan peradaban insan seiring melimpahnya bukti-bukti ilmiah gagasan oposannya (yakni Bumi bulat) dalam rentangan masa. Terlebih di masakini, tatkala penerbangan antariksa sudah menjadi rutinitas khususnya bagi sejumlah bangsa dan ilmu pengetahuan telah melangkah demikian jauh keluar dari Bumi kita dan lingkungannya mengeksplorasi semesta yang seakan tak bertepi. Kini kita tak lagi memahami Bumi sebagai raksasa di jagat raya yang kecil, namun hanyalah setitik debu di sudut alam raya yang demikian luas..
Baca Juga :
- Kejelasan Bumi Bulat Di Mata Ulama - Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat
- Wawancara Dengan Psikolog Spesialis Tentang Konspirasi Bumi Datar
- Kesepakatan Ulama Tentang Bentuk Bumi
- Profesor Lapan: Flat Earth Bukanlah Teori, Dongeng Tanpa Landasan Ilmiah
Gagasan Bumi datar sejatinya tak pernah benar-benar hilang meski telah tersisih sepenuhnya dari dunia ilmu pengetahuan sejak berabad silam. Ia tetap hidup dan menerima asupan nutrisi memadai dalam sejumlah komunitas kecil yang ultra konservatif dan cenderung antisains. Terutama pada sekte-sekte Kristiani tertentu yang tumbuh subur di daratan Amerika Serikat. Gagasan itu hidup dalam lingkungan yang dipenuhi nada konspirasi akan segala hal, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam lingkungan tersebut, segala perkembangan maju ilmu pengetahuan yang diraih umat insan pada zaman ini diklaim tak lebih dari pembohongan massif hasil konspirasi para cendekiawan sejagat..
Di tahun 1893 Tarikh Umum (TU), seorang konservatif berjulukan Orlando Ferguson menggambar peta Bumi datar. Peta inilah yang menjadi pijakan gagasan Bumi datar pada dikala ini. Bedanya, Orlando Ferguson mengklaim Bumi datar berbentuk kotak dengan cekungan Bulat di tengahnya. Sementara gagasan Bumi datar masa kini secara rahasia menghilangkan bentuk kotak itu..
Revolusi teknologi gosip dengan hadirnya internet di awal kurun ke-21 menciptakan gagasan tersebut pun mulai tersebar keluar dalam aneka rupa dongeng dan multimedia. Ia pun mulai disambut oleh kalangan di luar komunitas klasiknya, termasuk sejumlah pemeluk Islam. Bagi sejumlah kalangan Muslim, gagasan Bumi datar dirasa cocok dengan terjemah literal sejumlah ayat dalam al-Qur’an. Ia juga dianggap bersesuaian dengan pendapat sejumlah penafsir (mufassirin) Qur’an era klasik. Lebih lanjut lagi, gagasan Bumi datar dianggap bisa melengkapi gagasan asing lainnya, yakni Matahari mengelilingi Bumi, sekaligus memperkukuh perilaku ‘anti hegemoni Barat’ yang selama ini digaungkan..
Gagasan Bumi datar zaman ini mendeskripsikan bahwa Bumi ialah datar. Yup datar menyerupai papan raksasa. Titik pusat papan ialah kutub utara, sementara kutub selatan berupa tembok es yang membatasi bidang Bumi. Tembok es ini diklaim dijaga sangat ketat oleh sejumlah negara. Sementara langit berbentuk kubah dengan ketinggian tertentu. Matahari hanya berjarak 5.000 kilometer di atas paras Bumi datar. Matahari beredar dalam lintasannya yang mengelilingi proyeksi vertikal kutub utara menuju kubah langit. Demikian halnya Bulan dan benda-benda langit lainnya. Baik Bulan maupun Matahari diklaim tidaklah berukuran besar. Bersama bintang dan benda-benda langit lainnya, Matahari dan Bulan diklaim sebagai serakan api di dalam kubah langit..
Penggambaran akan bentuk Bumi yang datar dan dilingkupi (ditutupi) oleh kubah langit itu sekilas mengingatkan kita pada dongeng mitologis rakyat Jermania ihwal raksasa Ymir. Ymir sang raksasa yang kemudian tewas dan tubuhnya membentuk daratan (datar). Sedangkan batok kepalanya menjadi kubah raksasa yang menutupi daratan. Sehingga daratan itu gelap sepenuhnya. Demikian halnya deskripsi Matahari, Bulan, bintang dan benda-benda langit sebagai serakan api untuk menghias dan menerangi kubah langit, yang sekali lagi menyerupai sekali dengan penggambaran mitologi yang sama. Dongeng rakyat Jermania itu menuturkan, supaya daratan (Bumi) tidak kegelapan maka para ilahi memungut api Muspelheim dan menyebarkannya ke dalam kubah batok kepala Ymir hingga menjadi percikan-percikan..
Baiklah, goresan pena ini hanya ingin menekankan pada satu aspek semata. Yakni bagaimana arah kiblat Umat Islam khususnya di Indonesia dan Asia tenggara pada umumnya terkait gagasan Bumi datar. Riset yang saya lakukan, yang akan dipaparkan secara ringkas di bawah ini, menyimpulkan dengan gamblang betapa Umat Islam di Indonesia harus dipaksa menghadapkan wajah lebih ke utara pada dikala menunaikan ibadah shalat bila mempercayai gagasan Bumi datar..
Konsekuensinya sangat serius, alasannya ialah dengan demikian maka arah kiblat di Indonesia akan dipaksa melenceng mulai dari sebesar +14° di Banda Aceh hingga sebesar +38° di Merauke. Dalam kata-kata lain, bila kita mempercayai gagasan Bumi datar maka kita harus memaksa arah kiblat untuk melenceng sejauh antara 1.800 kilometer (Banda Aceh) hingga 4.300 kilometer (Merauke) dari lokasi Ka’bah yang sesungguhnya..
Konsep Arah Kiblat Bumi Datar
Menghadap kiblat merupakan satu hal yang esensial bagi Umat Islam sejagat. Sebab merupakan pecahan dari syarat sahnya shalat. Dan menghadap kiblat sangat erat hubungannya dengan arah kiblat. Dalam situasi darurat yakni tatkala seorang Muslim mengalami kondisi buta arah, terdapat dispensasi untuk memilih arah kiblat sendiri ke arah manapun yang diyakini. Namun tidak demikian halnya bila ia tahu kedudukan dan arah mataangin yang sempurna di lokasinya. Teladan dan tutur dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam menjadi pegangan betapa pentingnya memilih arah kiblat secara sempurna hingga ke tingkatan tertentu..
Hal itu sanggup dilihat contohnya dalam insiden berbaliknya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para sobat di Madinah dari semula menghadap ke utara menjadi menghadap ke selatan tatkala menunaikan ibadah shalat Dhuhur bersamaan dengan turunnya ketetapan Ka’bah ialah kiblat Umat Islam. Begitu halnya dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada sobat Wabir ibn Yuhannas al-Khuza’i RA yang hendak berangkat ke Yaman. Perintah tersebut menekankan bahwa arah kiblat bagi penduduk kota ialah dengan jalan memandang lurus ke arah Gunung Jabal Dayn tatkala mereka bangkit di Bathan, salah satu pecahan kota yang dikala itu berupa taman. Pengukuran modern di lokasi tersebut melalui fenomena Istiwa’ Azzam memperlihatkan kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dimana antara taman Bathan dengan Gunung Jabal Dayn dan Ka’bah sempurna berada dalam satu garis lurus..
Arah kiblat intinya merupakan arah menuju ke kiblat yang mengikuti jarak terpendek antara sebuah tempat terhadap kiblat. Pengertian arah disini sejatinya merupakan pengertian umum. Misalnya seseorang yang sedang berada di kota Bandung hendak mencari arah Jakarta. Maka arah yang logis ditempuhnya ialah ke barat laut, alasannya ialah itulah jarak terpendek antara Bandung dengan Jakarta secara geometris. Jika ia mengambil arah yang berlawanan, yakni ke tenggara, maka ia justru mengambil jarak yang terjauh. Apabila tetap memaksakan diri ke tenggara, ia tetap akan datang di Jakarta namun dalam waktu tempuh yang amat sangat lama. Sebaliknya bila ia mengambil arah ke utara atau ke selatan maka hingga kapanpun ia tidak mungkin datang di Jakarta. Karena arahnya keliru..
Dalam perspektif geometri, cara memilih arah dari suatu titik menuju ke suatu tempat ialah dengan memakai segitiga. Baik di permukaan datar (seperti halnya gagasan Bumi datar) maupun di permukaan lengkung. Dari segitiga tersebut, maka arah sanggup ditentukan sebagai sebuah sudut yang dihitung dari garis rujukan universal (misalnya arah Utara sejati). Nilai arah diturunkan dari persamaan-persamaan trigonometri, dimana untuk permukaan datar berlaku trigonometri segitiga planar (datar) sementara pada permukaan melengkung menyerupai bola berlaku trigonometri segitiga bola. Cendekiawan Muslim di era keemasannya memperlihatkan sumbangan yang sangat signifikan dalam pembentukan pengetahuan trigonometri yang kini kita pahami dalam geometri..
Dalam hal arah kiblat, baik di permukaan datar maupun melengkung, kita membutuhkan gosip ihwal tiga titik. Yakni titik lokasi yang hendak kita tentukan arah kiblatnya, kemudian titik Kutub Utara dan selanjutnya titik Makkah (dimana Ka’bah berada). Informasi terkait titik-titik tersebut dicerminkan oleh koordinat geografisnya. Dalam gagasan Bumi datar, kasus koordinat geografis ini tidak mengecewakan ribet mengingat koordinat garis lintang dan garis bujur yang tersaji pada dikala ini ialah yang bertumpu pada konsep Bumi bulat. Karena itu saya mengembangkan sistem koordinat tersendiri dengan bertumpu pada koordinat Cartesian, yang lantas dikorelasikan (disetarakan) dengan koordinat garis lintang dan garis bujur..
Dengan telah diketahuinya koordinat titik-titik Kutub Utara dan Makkah, maka tinggal berkonsentrasi pada penentuan nilai sudut arah. Dalam gagasan Bumi datar (atau secara matematis disebut model Bumi datar), lantaran berbasis trigonometri segitiga planar maka dipakai hukum cosinus sebagai berikut :
Gambar 6. Geometri segitiga planar, koordinat dan persamaan hukum cosinus untuk menghitung arah kiblat model Bumi datar. Sumber: Sudibyo, 2016.. |
Sedangkan pada konsep Bumi bundar (atau secara matematis disebut model Bumi bulat), maka basisnya ialah trigonometri segitiga bola dengan salah satu rumus yang dipakai sebagai berikut :
Gambar 7. Geometri segitiga bola, koordinat dan persamaan untuk menghitung arah kiblat model Bumi bulat. Sumber: Sudibyo, 016 dengan basis Google Earth.. |
Penelitian
Area penelitian dibatasi pada pecahan Bumi yang terletak di antara garis lintang 15° LU hingga 15° LS dan di antara garis bujur 90° BT hingga 150° BT. Area tersebut meliputi segenap Indonesia dan sejumlah negara tetangga menyerupai Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Singapura, sebagian Papua Nugini, sebagian Thailand, sebagian Myanmar, sebagian Vietnam, sebagian India (khususnya kepulauan Andaman dan Nicobar) dan sedikit Australia pecahan utara..
Nilai arah kiblat dalam penelitian ini ialah nilai sudut antara arah Utara sejati dengan arah menuju kiblat di lokasi tersebut. Nilai itu lantas dinyatakan sesuai standar astronomi sebagai nilai azimuth. Azimuth ialah busur yang ditarik dari arah Utara sejati menuju ke timur hingga datang di posisi arah kiblat yang dimaksud. Dalam sistem ini, Utara sejati mempunyai azimuth 0 (nol) atau 360, sementara Timur berazimuth 90, Selatan berazimuth 180 dan Barat berazimuth 270. Jika contohnya arah kiblat ialah 25° ke sebelah utara dari arah Barat, maka dalam sistem azimuth dinyatakan sebagai azimuth kiblat 295..
Hasil perhitungan azimuth kiblat model Bumi datar dan perbandingannya dengan azimuth kiblat model Bumi bundar untuk area penelitian dinyatakan dalam tabel berikut :
Gambar 8. Perbandingan garis-garis isokiblat untuk area penelitian antara model Bumi datar (atas) dan model Bumi bundar (bawah). Perhatikan kedua model menghasilkan garis-garis isokiblat dengan orientasi yang sangat berbeda. Perbedaan tersebut menjadi indikasi bahwa arah kiblat dalam model Bumi datar mempunyai perbedaan dengan arah kiblat dalam model Bumi bulat. Sumber: Sudibyo, 2016..
Terlihat terang bahwa contoh garis-garis isokiblat model Bumi datar jauh berbeda dengan garis isokiblat model Bumi bulat. Dalam model Bumi datar, orientasi garis isokiblatnya ialah seragam dari barat daya menuju timur laut. Sementara dalam model Bumi bulat, orientasi garis isokiblatnya bervariasi dan unik. Sebagian berorientasi dari selatan dan tenggara menuju barat laut. Sebagian lagi dari utara dan timur maritim menuju barat laut. Bahkan ada yang berorientasi dari selatan menuju tenggara dan juga dari utara menuju tenggara. Keunikan ini terjadi lantaran Indonesia menjadi salah satu dari hanya dua tempat unik di Bumi terkait arah kiblat. Yakni lantaran mempunyai lokasi di garis khatulistiwa yang sempurna berjarak 90° (seperempat belahan bola Bumi) dari Ka’bah. Lokasi tersebut berada di Indonesia pecahan timur , tepatnya di garis bujur 130° BT yang terletak di erat pulau Waigeo dan termasuk ke dalam daerah kabupaten Raja Ampat (Papua Barat). Satu titik istimewa lainnya terletak di muara Sungai Amazon (Brazil) di benua Amerika pecahan selatan..
Selisih angka yang signifikan dalam nilai azimuth kiblat dan perbedaan fundamental orientasi garis-garis isokiblatnya memperlihatkan bahwa arah kiblat model Bumi datar ialah berbeda dibandingkan dengan arah kiblat model Bumi bulat. Dengan kata lain, meski sama-sama berkiblat ke titik yang satu dalam hal ini Ka’bah atau Masjidil Haram atau wilayah tanah haram Makkah al-Mukarramah bila mengacu pada pembagian terstruktur mengenai kiblat (lihat Sudibyo, 2012), namun arah kiblat model Bumi datar ternyata berbeda dibanding arah kiblat model Bumi bulat. Perbedaan antara keduanya berimplikasi pada satu konsekuensi pahit: tentu ada model yang benar sementara model lainnya keliru..
Maka, mana yang benar..? Apakah arah kiblat model Bumi datar..? Ataukah arah kiblat model Bumi bulat..?
Bumi Datar Keliru
Astronomi atau ilmu falak tak hanya sekedar berkemampuan menghasilkan model dan menyajikan perhitungan matematis terkait azimuth kiblat, baik dalam model Bumi datar maupun model Bumi bulat. Melainkan juga berkemampuan mengujinya secara empiris, berdasarkan pengukuran eksklusif di lapangan. Ada bermacam-macam cara guna mengukur arah kiblat bagi suatu tempat. Pada prinsipnya cara pengukuran arah kiblat ialah dengan mengukur kedudukan arah-arah mataangin tertentu di lokasi tersebut, pengukuran yang bisa dilakukan contohnya dengan sumbangan kompas magnetik ataupun dengan posisi benda langit..
Pengukuran dengan kompas magnetik memungkinkan kita untuk mengetahui kedudukan arah Utara sejati, tentunya sehabis faktor-faktor pengganggu dieliminasi mulai dari deklinasi magnetik hingga angin kencang Matahari. Hal serupa juga sanggup dilakukan dengan pengukuran terhadap posisi benda-benda langit. Namun dalam hal benda langit, terdapat satu keistimewaan. Yakni kita bisa memperoleh eksklusif nilai azimuth kiblat suatu tempat manakala benda langit tersebut sempurna berada di titik zenith kiblat. Atau dalam bahasa ilmu falak, dikala benda langit tersebut mengalami Istiwa’ Azzam di kiblat..
Salah satu benda langit yang berkemampuan menyerupai itu ialah Matahari. Setiap tahun Tarikh Umum, yakni pada tanggal 28 Mei pukul 12:16 waktu Arab Saudi dan tanggal 16 Juli pukul pukul 12:26 waktu Arab Saudi, Matahari akan berkedudukan di titik zenith kotasuci Makkah. Hal itu berlaku untuk tahun basitas (tahun biasa), sementara untuk tahun kabisat tanggalnya maju sehari lebih awal. Pada dikala itu sebuah benda panjang (misal tiang) yang didirikan demikian rupa di kotasuci Makkah sehingga berkedudukan tegak lurus paras air rata-rata setempat akan kehilangan bayang-bayangnya sempurna pada dikala Matahari berada di titik zenith Makkah..
Inilah hari tanpa bayang Matahari atau Istiwa’ Azzam di kotasuci Makkah. Fenomena menghilangnya bayang-bayang akhir Istiwa’ Azzam sejatinya tidak hanya terjadi di kotasuci Makkah saja. Namun juga dialami setiap tempat dimanapun di Bumi sepanjang terletak di antara garis lintang 23° 27′ LU hingga 23° 27′ LS. Misalnya kota Kebumen (propinsi Jawa Tengah), dengan posisinya di garis bujur 7° 40′ LS maka ia juga mengalami situasi hari tanpa bayang Matahari yang terjadi setiap tanggal 1 Maret dan 13 Oktober. Kaprikornus tak hanya titik-titik lokasi di sepanjang garis khatulistiwa’ saja yang bisa mengalaminya seperti tuturan urban legend..
Pada dikala kotasuci Makkah mengalami Istiwa’ Azzam, maka pada dimanapun tempatnya di Bumi sepanjang tersinari cahaya Matahari pada dikala itu akan mengalami situasi unik. Yakni bayang-bayang benda yang didirikan tegaklurus paras air rata-rata setempat akan sempurna berimpit dengan arah kiblat setempat. Inilah yang kemudian menjadi terkenal sebagai Hari Kiblat. Hari Kiblat ialah waktu yang istimewa lantaran hanya pada dikala itu pengukuran kiblat sanggup dilaksanakan dengan akurasi sangat tinggi dengan cara yang paling sederhana. Dengan membandingkan nilai hasil pengukuran azimuth kiblat pada dikala Hari Kiblat terhadap hasil perhitungan azimuth kiblat, maka akan sanggup diuji mana yang lebih sempurna apakah model Bumi datar ataukah model Bumi bulat..
Berdasarkan pengukuran di dua lokasi berbeda dalam waktu yang berbeda pula, diketahui bahwa arah kiblat model Bumi bundar ialah konsisten. Untuk kota Kebumen (Jawa Tengah) misalnya, hasil perhitungan memperlihatkan azimuth kiblatnya 295. Pengukuran dengan memakai bayang Matahari pada dikala Hari Kiblat juga menghasilkan azimuth kiblat 295, dalam batas ketelitian pengukuran sehabis dikomparasikan dengan kompas magnetik. Demikian halnya di Jakarta. Perhitungan memperlihatkan azimuth kiblatnya juga 295. Sementara pengukuran pengukuran bayang Matahari dikala Hari Kiblat juga menghasilkan azimuth kiblat 295..
Sebaliknya arah kiblat model Bumi datar sangat tidak konsisten. Perhitungan di kota Kebumen menghasilkan nilai azimuth kiblat model Bumi datar sebesar 320. Namun dikala diukur dengan bayang Matahari pada dikala Hari Kiblat, ternyata bayang-bayang tersebut (yang berimpit dengan arah kiblat Kebumen) jatuh pada azimuth 295. Demikian halnya di Jakarta. Perhitungan menghasilkan nilai azimuth kiblat sebesar 318, namun pengukuran bayang Matahari dikala Hari Kiblat menghasilkan bayang-bayang (yang ialah arah kiblat Jakarta) yang jatuh pada azimuth 295..
Analisis lebih lanjut memperlihatkan bahwa untuk kota Kebumen, bayang Matahari dikala Istiwa’ Azzam akan berada di azimuth 320 hanya bila posisi kotasuci Makkah jauh lebih ke utara dibanding sekarang. Demikian halnya untuk kota Jakarta. Ekstrapolasi dari azimuth 320 (Kebumen) dan azimuth 318 (Jakarta) menghasilkan titik koordinat di sekitar Laut Kaspia, berdekatan dengan negara bagian Chechnya (Rusia). Dengan kata lain, supaya hasil pengukuran bayang Matahari dikala Istiwa’ Azzam bersesuaian dengan hasil perhitungan azimuth kiblat model Bumi datar untuk Jakarta dan Kebumen, maka posisi Ka’bah harus berada di sekitar Laut Kaspia. Tentu ini mustahil. Di sisi yang lain, Matahari juga tidak mungkin mengalami Istiwa’ Azzam di atas Laut Kaspia, mengingat gerak semu tahunan Matahari membatasinya hanya bisa mengalami Istiwa’ Azzam di antara Garis Balik Utara atau Tropic of Cancer (yakni garis lintang 23° 27′ LU) hingga Garis Balik Selatan atau Tropic of Capricorn (yakni garis lintang 23° 27′ LS) saja..
Ketidakkonsistenan ini memperlihatkan bahwa ada yang keliru dalam model Bumi datar. Penelitian lanjutan, yang akan dipaparkan dalam goresan pena berikutnya (tidak dalam artikel ini), juga memperlihatkan besarnya inkonsistensi model Bumi datar antara perhitungan dengan hasil pengamatan/pengukuran dalam aspek-aspek ibadah Umat Islam lainnya. Yakni dalam hal waktu shalat, hilaal dan gerhana..
Implikasi dan Kesimpulan
Kelirunya model Bumi datar dalam hal arah kiblat membawa implikasi yang jauh lebih serius. Seorang Muslim yang meyakini bahwa model Bumi datar ialah benar seharusnya juga konsisten untuk mengubah arah kiblat shalatnya menjadi lebih ke utara dibanding yang dipedomani di Indonesia dikala ini..
Misalnya di Kebumen, seharusnya ia mengarah ke azimuth 320 yang berarti lebih miring atau bergeser 25° ke utara dibanding arah kiblat yang tepat. Demikian halnya di Jakarta, seharusnya ia juga mengarah ke azimuth 318 atau bergeser 23° lebih ke utara. Namun pergeseran ini akan berimplikasi serius. Mengingat model Bumi datar ialah keliru kala ditinjau dari dilema arah kiblat menyerupai diulas di atas, maka menyengaja menghadap ke azimuth 320 (Kebumen) atau azimuth 318 (Jakarta) sama halnya dengan menyengaja menyimpang dari arah kiblat sesungguhnya. Perbuatan menyengaja untuk menyimpang dari arah kiblat tentu mempunyai konsekuensi syar’i tersendiri..
Seperti apa besarnya penyimpangan atau pergeseran arah terhadap azimuth kiblat yang bekerjsama sebagai akhir penerapan model Bumi datar? Untuk area penelitian, hal tersebut sanggup dilihat dalam peta berikut :
Dapat dilihat dalam peta bahwa untuk Indonesia, besarnya penyimpangan arah terhadap arah kiblat yang sempurna akhir aplikasi model Bumi datar ialah bervariasi. Yang terkecil ialah +14° di Banda Aceh (propinsi Aceh). Sementara yang terbesar adalah +39° di Merauke (propinsi Papua). Khusus di pulau Jawa, besar penyimpangan arahnya bervariasi antara +26° hingga +29°..
Saat seorang Muslim menyimpang dari arah kiblat, maka pada hakikatnya ia telah bergeser dari Ka’bah hingga jarak tertentu yang bergantung kepada besarnya nilai sudut simpangannya. Semakin besar sudut penyimpangan arahnya maka semakin jauh ia bergeser dari Ka’bah. Dalam kasus kota Jakarta, dengan sudut penyimpangan arah sebesar +23° maka titik proyeksi model Bumi datar ialah bergeser sejauh 2.500 kilometer dari Ka’bah. Untuk area penelitian, besarnya jarak antara titik proyeksi model Bumi datar dengan Ka’bah sanggup dilihat dalam peta berikut :
Dapat dilihat dalam peta bahwa untuk Indonesia, jarak antara titik proyeksi model Bumi datar dengan Ka’bah juga bervariasi. Yang terkecil senilai 1.800 kilometer di Sabang (propinsi Aceh). Sementara yang terbesar ialah senilai 4.300 kilometer di Merauke (propinsi Papua). Di pulau Jawa, jarak antara titik proyeksi arah kiblat Bumi datar dengan Ka’bah bervariasi antara 2.450 kilometer hingga 3.000 kilometer. Jarak penyimpangan ini sangat besar, jauh lebih besar ketimbang jarak maksimum yang sanggup ditoleransi yakni maksimum 45 kilometer dari Ka’bah (lihat Sudibyo, 2012)..
Jadi, berdasarkan penelitian ini, saya mengkategorikan model Bumi datar sebagai kabar-bohong atau hoax. Model tersebut sama sekali tidak konsisten dengan aspek-aspek ibadah Umat Islam yang bertumpu pada ruang dan waktu, dalam hal ini arah kiblat..
Referensi :
[Ditulis oleh Muh. Ma’rufin Sudibyo. Disalin dari blog Ekliptika]
Penulis Saat ini sebagai ketua tim mahir Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula dalam Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), Ikatan Cendekiawan Falak Indonesia (ICFI), Jogja Astro Club dan International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sebagai pembimbing dan pendamping Forum Kajian Ilmu Falak (FKIF) Gombong dan Majelis Kajian Ilmu Falak (MKF) Kebumen, keduanya di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah..
Terlihat terang bahwa contoh garis-garis isokiblat model Bumi datar jauh berbeda dengan garis isokiblat model Bumi bulat. Dalam model Bumi datar, orientasi garis isokiblatnya ialah seragam dari barat daya menuju timur laut. Sementara dalam model Bumi bulat, orientasi garis isokiblatnya bervariasi dan unik. Sebagian berorientasi dari selatan dan tenggara menuju barat laut. Sebagian lagi dari utara dan timur maritim menuju barat laut. Bahkan ada yang berorientasi dari selatan menuju tenggara dan juga dari utara menuju tenggara. Keunikan ini terjadi lantaran Indonesia menjadi salah satu dari hanya dua tempat unik di Bumi terkait arah kiblat. Yakni lantaran mempunyai lokasi di garis khatulistiwa yang sempurna berjarak 90° (seperempat belahan bola Bumi) dari Ka’bah. Lokasi tersebut berada di Indonesia pecahan timur , tepatnya di garis bujur 130° BT yang terletak di erat pulau Waigeo dan termasuk ke dalam daerah kabupaten Raja Ampat (Papua Barat). Satu titik istimewa lainnya terletak di muara Sungai Amazon (Brazil) di benua Amerika pecahan selatan..
Selisih angka yang signifikan dalam nilai azimuth kiblat dan perbedaan fundamental orientasi garis-garis isokiblatnya memperlihatkan bahwa arah kiblat model Bumi datar ialah berbeda dibandingkan dengan arah kiblat model Bumi bulat. Dengan kata lain, meski sama-sama berkiblat ke titik yang satu dalam hal ini Ka’bah atau Masjidil Haram atau wilayah tanah haram Makkah al-Mukarramah bila mengacu pada pembagian terstruktur mengenai kiblat (lihat Sudibyo, 2012), namun arah kiblat model Bumi datar ternyata berbeda dibanding arah kiblat model Bumi bulat. Perbedaan antara keduanya berimplikasi pada satu konsekuensi pahit: tentu ada model yang benar sementara model lainnya keliru..
Maka, mana yang benar..? Apakah arah kiblat model Bumi datar..? Ataukah arah kiblat model Bumi bulat..?
Bumi Datar Keliru
Astronomi atau ilmu falak tak hanya sekedar berkemampuan menghasilkan model dan menyajikan perhitungan matematis terkait azimuth kiblat, baik dalam model Bumi datar maupun model Bumi bulat. Melainkan juga berkemampuan mengujinya secara empiris, berdasarkan pengukuran eksklusif di lapangan. Ada bermacam-macam cara guna mengukur arah kiblat bagi suatu tempat. Pada prinsipnya cara pengukuran arah kiblat ialah dengan mengukur kedudukan arah-arah mataangin tertentu di lokasi tersebut, pengukuran yang bisa dilakukan contohnya dengan sumbangan kompas magnetik ataupun dengan posisi benda langit..
Pengukuran dengan kompas magnetik memungkinkan kita untuk mengetahui kedudukan arah Utara sejati, tentunya sehabis faktor-faktor pengganggu dieliminasi mulai dari deklinasi magnetik hingga angin kencang Matahari. Hal serupa juga sanggup dilakukan dengan pengukuran terhadap posisi benda-benda langit. Namun dalam hal benda langit, terdapat satu keistimewaan. Yakni kita bisa memperoleh eksklusif nilai azimuth kiblat suatu tempat manakala benda langit tersebut sempurna berada di titik zenith kiblat. Atau dalam bahasa ilmu falak, dikala benda langit tersebut mengalami Istiwa’ Azzam di kiblat..
Salah satu benda langit yang berkemampuan menyerupai itu ialah Matahari. Setiap tahun Tarikh Umum, yakni pada tanggal 28 Mei pukul 12:16 waktu Arab Saudi dan tanggal 16 Juli pukul pukul 12:26 waktu Arab Saudi, Matahari akan berkedudukan di titik zenith kotasuci Makkah. Hal itu berlaku untuk tahun basitas (tahun biasa), sementara untuk tahun kabisat tanggalnya maju sehari lebih awal. Pada dikala itu sebuah benda panjang (misal tiang) yang didirikan demikian rupa di kotasuci Makkah sehingga berkedudukan tegak lurus paras air rata-rata setempat akan kehilangan bayang-bayangnya sempurna pada dikala Matahari berada di titik zenith Makkah..
Inilah hari tanpa bayang Matahari atau Istiwa’ Azzam di kotasuci Makkah. Fenomena menghilangnya bayang-bayang akhir Istiwa’ Azzam sejatinya tidak hanya terjadi di kotasuci Makkah saja. Namun juga dialami setiap tempat dimanapun di Bumi sepanjang terletak di antara garis lintang 23° 27′ LU hingga 23° 27′ LS. Misalnya kota Kebumen (propinsi Jawa Tengah), dengan posisinya di garis bujur 7° 40′ LS maka ia juga mengalami situasi hari tanpa bayang Matahari yang terjadi setiap tanggal 1 Maret dan 13 Oktober. Kaprikornus tak hanya titik-titik lokasi di sepanjang garis khatulistiwa’ saja yang bisa mengalaminya seperti tuturan urban legend..
Pada dikala kotasuci Makkah mengalami Istiwa’ Azzam, maka pada dimanapun tempatnya di Bumi sepanjang tersinari cahaya Matahari pada dikala itu akan mengalami situasi unik. Yakni bayang-bayang benda yang didirikan tegaklurus paras air rata-rata setempat akan sempurna berimpit dengan arah kiblat setempat. Inilah yang kemudian menjadi terkenal sebagai Hari Kiblat. Hari Kiblat ialah waktu yang istimewa lantaran hanya pada dikala itu pengukuran kiblat sanggup dilaksanakan dengan akurasi sangat tinggi dengan cara yang paling sederhana. Dengan membandingkan nilai hasil pengukuran azimuth kiblat pada dikala Hari Kiblat terhadap hasil perhitungan azimuth kiblat, maka akan sanggup diuji mana yang lebih sempurna apakah model Bumi datar ataukah model Bumi bulat..
Berdasarkan pengukuran di dua lokasi berbeda dalam waktu yang berbeda pula, diketahui bahwa arah kiblat model Bumi bundar ialah konsisten. Untuk kota Kebumen (Jawa Tengah) misalnya, hasil perhitungan memperlihatkan azimuth kiblatnya 295. Pengukuran dengan memakai bayang Matahari pada dikala Hari Kiblat juga menghasilkan azimuth kiblat 295, dalam batas ketelitian pengukuran sehabis dikomparasikan dengan kompas magnetik. Demikian halnya di Jakarta. Perhitungan memperlihatkan azimuth kiblatnya juga 295. Sementara pengukuran pengukuran bayang Matahari dikala Hari Kiblat juga menghasilkan azimuth kiblat 295..
Sebaliknya arah kiblat model Bumi datar sangat tidak konsisten. Perhitungan di kota Kebumen menghasilkan nilai azimuth kiblat model Bumi datar sebesar 320. Namun dikala diukur dengan bayang Matahari pada dikala Hari Kiblat, ternyata bayang-bayang tersebut (yang berimpit dengan arah kiblat Kebumen) jatuh pada azimuth 295. Demikian halnya di Jakarta. Perhitungan menghasilkan nilai azimuth kiblat sebesar 318, namun pengukuran bayang Matahari dikala Hari Kiblat menghasilkan bayang-bayang (yang ialah arah kiblat Jakarta) yang jatuh pada azimuth 295..
Analisis lebih lanjut memperlihatkan bahwa untuk kota Kebumen, bayang Matahari dikala Istiwa’ Azzam akan berada di azimuth 320 hanya bila posisi kotasuci Makkah jauh lebih ke utara dibanding sekarang. Demikian halnya untuk kota Jakarta. Ekstrapolasi dari azimuth 320 (Kebumen) dan azimuth 318 (Jakarta) menghasilkan titik koordinat di sekitar Laut Kaspia, berdekatan dengan negara bagian Chechnya (Rusia). Dengan kata lain, supaya hasil pengukuran bayang Matahari dikala Istiwa’ Azzam bersesuaian dengan hasil perhitungan azimuth kiblat model Bumi datar untuk Jakarta dan Kebumen, maka posisi Ka’bah harus berada di sekitar Laut Kaspia. Tentu ini mustahil. Di sisi yang lain, Matahari juga tidak mungkin mengalami Istiwa’ Azzam di atas Laut Kaspia, mengingat gerak semu tahunan Matahari membatasinya hanya bisa mengalami Istiwa’ Azzam di antara Garis Balik Utara atau Tropic of Cancer (yakni garis lintang 23° 27′ LU) hingga Garis Balik Selatan atau Tropic of Capricorn (yakni garis lintang 23° 27′ LS) saja..
Ketidakkonsistenan ini memperlihatkan bahwa ada yang keliru dalam model Bumi datar. Penelitian lanjutan, yang akan dipaparkan dalam goresan pena berikutnya (tidak dalam artikel ini), juga memperlihatkan besarnya inkonsistensi model Bumi datar antara perhitungan dengan hasil pengamatan/pengukuran dalam aspek-aspek ibadah Umat Islam lainnya. Yakni dalam hal waktu shalat, hilaal dan gerhana..
Implikasi dan Kesimpulan
Kelirunya model Bumi datar dalam hal arah kiblat membawa implikasi yang jauh lebih serius. Seorang Muslim yang meyakini bahwa model Bumi datar ialah benar seharusnya juga konsisten untuk mengubah arah kiblat shalatnya menjadi lebih ke utara dibanding yang dipedomani di Indonesia dikala ini..
Misalnya di Kebumen, seharusnya ia mengarah ke azimuth 320 yang berarti lebih miring atau bergeser 25° ke utara dibanding arah kiblat yang tepat. Demikian halnya di Jakarta, seharusnya ia juga mengarah ke azimuth 318 atau bergeser 23° lebih ke utara. Namun pergeseran ini akan berimplikasi serius. Mengingat model Bumi datar ialah keliru kala ditinjau dari dilema arah kiblat menyerupai diulas di atas, maka menyengaja menghadap ke azimuth 320 (Kebumen) atau azimuth 318 (Jakarta) sama halnya dengan menyengaja menyimpang dari arah kiblat sesungguhnya. Perbuatan menyengaja untuk menyimpang dari arah kiblat tentu mempunyai konsekuensi syar’i tersendiri..
Seperti apa besarnya penyimpangan atau pergeseran arah terhadap azimuth kiblat yang bekerjsama sebagai akhir penerapan model Bumi datar? Untuk area penelitian, hal tersebut sanggup dilihat dalam peta berikut :
Dapat dilihat dalam peta bahwa untuk Indonesia, besarnya penyimpangan arah terhadap arah kiblat yang sempurna akhir aplikasi model Bumi datar ialah bervariasi. Yang terkecil ialah +14° di Banda Aceh (propinsi Aceh). Sementara yang terbesar adalah +39° di Merauke (propinsi Papua). Khusus di pulau Jawa, besar penyimpangan arahnya bervariasi antara +26° hingga +29°..
Saat seorang Muslim menyimpang dari arah kiblat, maka pada hakikatnya ia telah bergeser dari Ka’bah hingga jarak tertentu yang bergantung kepada besarnya nilai sudut simpangannya. Semakin besar sudut penyimpangan arahnya maka semakin jauh ia bergeser dari Ka’bah. Dalam kasus kota Jakarta, dengan sudut penyimpangan arah sebesar +23° maka titik proyeksi model Bumi datar ialah bergeser sejauh 2.500 kilometer dari Ka’bah. Untuk area penelitian, besarnya jarak antara titik proyeksi model Bumi datar dengan Ka’bah sanggup dilihat dalam peta berikut :
Dapat dilihat dalam peta bahwa untuk Indonesia, jarak antara titik proyeksi model Bumi datar dengan Ka’bah juga bervariasi. Yang terkecil senilai 1.800 kilometer di Sabang (propinsi Aceh). Sementara yang terbesar ialah senilai 4.300 kilometer di Merauke (propinsi Papua). Di pulau Jawa, jarak antara titik proyeksi arah kiblat Bumi datar dengan Ka’bah bervariasi antara 2.450 kilometer hingga 3.000 kilometer. Jarak penyimpangan ini sangat besar, jauh lebih besar ketimbang jarak maksimum yang sanggup ditoleransi yakni maksimum 45 kilometer dari Ka’bah (lihat Sudibyo, 2012)..
Jadi, berdasarkan penelitian ini, saya mengkategorikan model Bumi datar sebagai kabar-bohong atau hoax. Model tersebut sama sekali tidak konsisten dengan aspek-aspek ibadah Umat Islam yang bertumpu pada ruang dan waktu, dalam hal ini arah kiblat..
Referensi :
- Sudibyo. 2012. Sang Nabi Pun Berputar, Arah Kiblat dan Tata Cara Pengukurannya. Surakarta : Tinta Medina Tiga Serangkai.
- Sugeng Riyadi. 2010. Dauroh I Ilmu Falak RHI Surakarta. Blog Pak AR Guru Fisika, 23 Oktober 2010.
[Ditulis oleh Muh. Ma’rufin Sudibyo. Disalin dari blog Ekliptika]
Penulis Saat ini sebagai ketua tim mahir Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula dalam Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), Ikatan Cendekiawan Falak Indonesia (ICFI), Jogja Astro Club dan International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sebagai pembimbing dan pendamping Forum Kajian Ilmu Falak (FKIF) Gombong dan Majelis Kajian Ilmu Falak (MKF) Kebumen, keduanya di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah..
——○●※●○——
Esha Ardhie
Sabtu, 18 November 2017
Esha Ardhie
Sabtu, 18 November 2017